Langkah pemerintah dengan menjadikan tenaga honorer menjadi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dinilai mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara
pada Kabinet Gotong Royong, Muhammad Feisal Tamin merugikan negara.
Alasannya, pegawai
honorer bukanlah orang yang wajib diterima jadi PNS karena dulu waktu
penerimaan honorer ada kepentingan-kepentingan seperti karena keponakan
Bupati, titipan anggota DPRD dan sebagainya.
“Pegawai yang
mengikuti prosesnya perekrutan seharusnya melalui tes PNS. Kalau
tidak, dipastikan mutunya rendah, ” tegas Feisal Tamin saat ditemui di
sela-sela wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Abdi Negara di
Jakarta.
Seharusnya, honorer yang ingin menjadi PNS harus
ditesting sesuai dengan kemampuannya dan kompetensi. Profesionalitas
dibangun mempunyai pengetahuan dasar, track record dan moral.
Lantas
bagaimana dengan diangkatnya guru honorer yang dijadikan jadi PNS?
“Memang guru kurang tapi tetap harus ada standar kemampuan minumum yang
harus dipunyai. Jika semua guru honorer diterima jadi PNS kan susah.
Jadi harus punya kompetensi untuk memenuhi bekerja atau bertugas,”
katanya.
Tentang alasan telah bekerja puluhan tahun dan memaksa jadi PNS, Tamin menegaskan kalau dituruti negara bisa rugi. “Jangan
menginteprestasi kemanusiaan dengan menerima honorer. Inilah yang
menimbulkan kita mencapai kualitas pegawai manusia Indonesia di bidang
pemerintahan. Jadi tidak hanya mengisi jabatan, nanti kita tidak bisa
bersaing,” katanya.
Kebijakan pemerintah yang merekrut honorer,
menurut dia, yang menyebabkan jumlah pegawai negeri kebanyakan. Saat
menjadi Menpan jumlah PNS sebanyak 3,6 juta PNS dan sekarang 5 juta
orang lebih yang kebanyakan berasal dari tenaga honorer yang dijadikan
pegawai negeri
0 Response to "Alasan Pemerintah Tenaga Honorer Sulit Diangkat Jadi PNS"
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung di Bestmechanic.blogspot.com semoga apa yang anda baca bermanfaat. Silahkan bergabung dengan Bestmechanic.blogspot.com dengan cara klik SUKA dalam LIKE BOX. dan saya tunggu kritik dan sarannya. Terima kasih.